Prolog
“Tak kenal
maka tak sayang”
Kata-kata itu yang membuat ku ingin memperkenalkan
diri sama kalian. Namaku Intan Fitriani, biasa di panggil Intan tapi di akte
kelahiran namaku Prisilia Savana Anggreini. Beda jauh ya,,,
aku lahir dari pasangan Ny.Maria Magdalena dan Abdul
Hafidz dan bertepatan pada tanggal 01 januari 1999 di rumah sakit Hermina( jl
KH.abdullah Bin Nuh Bogor) dengan selamat.
Terkadang ketika seseorang merasa jenuh akan
kejamnya hidup. Terutama jika seseorang yang di sayanginya pergi begitu saja, Mereka
mengekspresikan dengan berbagai cara, terantung dalam diri masing-masing.ada
melakukannya dengan hal-hal yang positf
dan ada juga kebalikannya, melakukan hal-hal negatif hingga jiwannya terganggu.
aku
mengekspresikan hal itu dengan terjun ke laut imajinasiku berenang di dalamnya,
melihat ribuan ikan berenang dengan bebasnya dan keluar dengan ribuan karya.
Aku merasa begitu di sayangkan jika aku mempunyai
dunia Imajinasi yang indah namun tidak ku apresiasikan dengan baik. Maka dari
itu sejak kecil ayah slalu mendongengiku sebelum tidur, dan mamah yang slalu
menganjurkan untuk menulis diary sehabis makan malam. sehingga 14 tahun lamanya, dunia imajinasi
itu terbentuk dengan sempurna
14 tetes Kenangan ini hanya sepenggal dari Diaryku
yang ku tulis selam setahun penuh, walau ada beberapa cerita yang sedikit
melenceng dari alur, tapi aku berusaha semaksimal mungkin untuk meluruskan
cerita itu kembali. Dan aku mengkalaborasikan beberapa cerita horor, aku
mengucapkan ribuan terimakasih kepada Tuhan, orang-orang yang sangat peduli dan
sayang padaku. Dan kak Atta tampamu karya ini takkan terwujud
BAGIAN
1
01 januari
2012
hari ini adalah hari ulang tahunku, menyenangkan
tapi tak meneyenangkan ketika di hari Anniversary ku ini de hiasi oleh sahabt terbaikku
Atta aku tidak terlalu merasa senang ketika orang-orang bilang
"Intan slamat ulang tahun ya!"
kata-kata yang sangat membosankan bagiku. mereka merasa bahagia dikala aku
bahagia. tapi dikala aku sedih tak satu pun dari mereka yang turut sedih, kecuali
sahabat ku Atta. Atta selalu menghiburku takkala aku sedih, membuatku
merasa lebih baik. aku sangat menyayanginya, sebagai sahabat sehidup semati.
Segunung kado menumpuk di kamarku. Tapi kado yang
bernamakan Atta tidak ada. berulang kali ku mencari apa Atta lupa denganku?
tidak mungkin. Atta takkan lupa dengan sahabat sejatinya. mungkin ia akan
memberikan kadonya besok dan lebih istimewa pastinya, aku yakin itu.
“assalamualaikum!!” Seseorang mengetuk rumahku.
mungkin ini adit segera ku membukakan pintu
“Atta?” teriakku
“Tan, ini gawat!!” aku tersentak kaget melihat
siapa yang berkunjung ke rumah ku. nisa sahabat kedua ku di sekolah
“ada apa nis?”
“a, a, a,Atta!!”
“kenapa?, si Atta?” sambil menggoyang-goyangkan
tubuh nisa
“Atta akan pergi ke amerika, sekarang dia sudah di
bandara!” jelasnya sambil terbata-bata
“apa?”
Tanpa basa-basi lagi aku bergegas mengganti
pakaianku, lima menit kemudian, celana jins dan t-shirt merah telah menempel di
badanku dan siap tuk pergi ke Bandara .
“Tan gue
ikut ya”
“iya cepat naik!”
Aku langsung mencap gas, bagai kuda yang berlari di
atas ladang yang luas,Aku mengandarai motor dengan kecepatan tinggi, tak peduli
dengan polisi dan ocehan nisa yang sedari tadi mengomel padaku. ini demi
sahabatku Atta. menurutku semua ini tak sebanding dengan apa yang telah
Atta lakukan padaku, Atta mengapa kamu nggak pamitan dulu sama aku. Batinku
“Tan nggak bisa lebih cepet lagi lo nyetirnya?”
Nisa mencibir
“ok!!”
Aku tertawa kecil dalam hati. aku tahu pasti nisa
hanya bercanda tapi well jika itu yang ia mau.
Karena jalanan cukup sepi aku menambah kecepatanku
menjadi 100/km per jam kecepatan perdana selama aku mengendarai motor. nisa
menutup matanya tak berani melihat perilaku nekat ku ini. setelah dua jam
perjalanan akhirnya aku sampai juga di bandara. nisa terlihat syok karena
perjalanan kami tadi. jadi ku tinggalkan saja dia di parkiran.
Aku berlari di kerumunan banyak orang. tidak
sedikit orang yang ku tabrak. aku mengahmpiri OB yang sedang menyapu lantai.
“pak pesawat yang jurusan amerika udah take off belum?” tanyaku terburu-buru
“belum neng, mungkin sekitar lima menit lagi
pesawatnya berangkat!”
Aku langsung melesat meninggalkan OB itu, ia hanya
menggelengkan kepala melihatku berlari. Atta aku pasti datang.
Aku merasa kesal karena bandara tidak bisa diajak
kompromi. bandara sangat ramai akan orang-orang. Dari kejauhan ku melihat pesawat yang siap terbang dan
dibalik kaca ku lihat sosok muka yang sudah tidak asing bagiku “Atta”
“Atta!!!” teriakku sambil memukul-mukul kaca
Atta melirik kaget ke arahku ia hanya tersenyum
manis berlinangkan adir mata dan memperlihatkan secarik kertas padaku.
“Intan, makasih ya udah dateng, maaf ya aku
nggak bisa ngasih apa-apa buat kamu. kado ku hanyalah doa yang selalu ku panjatkan
untukmu.”
Salam manis Faiz attaqi
Aku menangis sambil melambaikan tangan padanya.
menurutku itu adalah kado terindah sepanjang hidupku. pesawat itu terbang dan
menghilang ditelan awan.
BAGIAN 2
10 februari 2012
Setelah Dua bulan kepergian Atta hidupku semakin
merana, aku hanya punya satu sahabat yang masih Reall, Nisa namanya, sikapnya
tak jauh Beda dengan Atta, pengertian dan ada dikala aku sedih. Yang membedakan
antara mereka berdua hanyalah Jenis kelamin.
“Besok aku berangkat” ucapku seraya menundukkan
kepala, “Kapan kamu kembali?” ucap Nisa sahabatku sambil menepuk bahuku yang
lesu, “Mungkin 6 tahun lagi” jawabku pelan “Lama ya, bukannya saat itu kita
udah lulus SMA?” ucapnya dengan senyum terpaksa, aku mengangguk.
Malam ini adalah malam terakhir untuk kami berdua untuk
tidur sekamar, ini adalah ritual kita setiap satu minggu sekali, Kadang di
rumahku, kadang juga di rumahnya. Tapi malam ini aku sengaja tidur di rumahnya.
Hampir semalam penuh aku nggak bisa tidur, kutatap jam dinding yang menghitung
detik demi detik, kuambil nafas panjag setiap satu menit berlalu, kupeluk tubuhnya
yang tertidur pulas di sampingku. Hingga pukul 03.00 aku baru bisa tertidur.
Pukul 06.00 orangtuaku menjemputku, tampaknya
mereka sudah siap berangkat, Sebelum aku masuk ke mobil kuberi sahabatku sepasang
kalung yang sama denganku bentuknya couple , kalung couple yang lain ku berikan
kepada Atta. Hanya orang istimewalah yang ku berikan kalung Couple ini,
“Kuharap, kamu bisa menjaga kalung ini…
setidaknya sampai aku kembali” ucapku menahan tetesan air mata “Aku akan
menjaganya seperti menjaga persahabatan kita yang melebihi nyawaku, sampai
kapanpun” jawabnya mengharukan. Kami tak tahan lagi, air mata kamu berjatuhan
tak terbendung. Dia pun mengantarku menuju pintu mobil, dia juga yang
menutupkan pintu mobil untukku, padahal aku tau kalau dia tidak suka aroma
mobil. Aku sangat terharu dengan perpisahan yang manis ini. Ketika mobil masih
berjalan pelan dan tidak terlalu jauh dia menjerit “Kamu harus berjanji , kamu akan
kembali kesini dalam keadaan sukses” Aku cukup tercengang dengan kata-katanya,
begitu juga orangtuaku yang mendengarnya, tapi tetap saja kubalas jeritannya
“Aku janji” jawabku lantang.
Selama di perjalanan aku masih memikirkan apakah
aku bisa tinggal di kota, aku suka di desa… Apalagi teman-temanku di desa
baik-baik. Aku Nggak bisa membayangkan bagaimana aku bisa beradaptasi di
lingkungan baru, semoga ada yang mau berteman denganku teman yang mempunyai
sifat seperti kedua sahabatku.
Akhirnya sampai juga di rumah baruku. Rumahnya
bagus, lebih besar dari rumahku yang di desa, tapi tetep aja, di luar bising,
banyak kendaraan berkeliaran, aku aja enggan untuk keluar. Papah mulai mengatur
tata ruang, mulai dari ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, dapur, kamar
utama dan lainnya. Kamarku ada di atas, dengan barang-barang yang sepertinya
memang sudah dipersiapkan, aku tinggal mengisi semua dengan barang-barangku.
Selesai bersih-bersih, tiba-tiba Papah menengok kamarku “Bagus, Emm… sayang,
soal teman jangan khawatir, di rumah sebelah ada gadis seusia kamu, cepet
kenalan ya. Ini, alat dan seragam sekolah kamu. Semoga kamu senang disini”
Hari pertama ke sekolah, “fiiuuuhh…” kulangkahkan
kakiku melewati gerbang sekolah baruku ini, sebenarnya aku sedikit Risih dengan
sekolah baruku ini. Sekolah ini berbasis Kristen, aku terpaksa masuk sekolah
ini karna pemintaan Mamah, walaupun begitu aku tetap menjadi Muslimah yang tak
pernah meninggalkan shalat lima waktu.
kucoba untuk selalu tersenyum untuk menjaga
image-ku sebagai anak baru. Tapi ternyata, sedikit tercengang dan malu aku
melihat semua ini “Nggak ada satu pun yang membalas senyumku… Ya Allah, apa sih
yang mereka pikirin? Jaga wibawa? Dasar pelit” gerutuku. Tapi tetap kulanjutkan
senyumku, sambil mencari dimana ruang guru.
RUANG GURU. Tulisan yang terbaca jelas untukku,
Untuk guru pertama yang aku temui adalah wali kelasku, namanya Bapak Johan
Beliau orangnya ramah, lucu dan pengertian, tidak seperti orang kota kebanyakan
. Tapi inget, jangan senang dulu, kan belum punya temen.
Aku terpukau dengan bangunan sekolah ini yang
berbeda dengan sekolah yang ada di desaku. Disini besar, bersih , sedikit Puas
rasanya aku diajak jalan-jalan oleh wali kelasku, tapi ketika sampai di
lapangan basket, ada sebuah bola melayang ke arahku. Dan… Gelap…
Aku terbangun dari tidurku, dan “Hah?” tiba-tiba
ada sesosok pria yang sepertinya sebaya
denganku berdiri di sampingku sambil
bergegas mengambilkan minum, aku bingung dengan apa yang dia lakukan, aku hanya
terdiam, kepalaku tersa sakit. Lalu dia mengulurkan tangannya “Atta?” aku
terpukau sama kebaikannya, ia sama seperti Atta… sayangnya dia bukan Atta
dia Ilham lebih tepatnya Ilham Goergia meachle
“Hei…” dia membuyarkan lamunanku. “e, Intan”
jawabnya malu-malu “Maaf tadi aku nggak sengaja ngelempar bola ke kamu”
“Iya, nggak papa kok” Aku mulai bercakap-cakap dengannya,
lalu ia berniat mengantarku ke kelas Tapi di tengah perjalanan ke kelas ,
seorang Wanita sinis menarik tangan Ilham, ia berbincang dengannya, sepertinya
ia marah. Tak kuhiraukan sinisnya malah aku balas dengan senyuman dan uluran
tangan. Wajahnya terlihat malu dengan sikapnya padaku yang sia-sia, sehingga
dia langsung menggeret Ilham untuk pergi. Terpaksa aku melanjutkan perjalanan
sendiri, untunglah cepat kutemukan kelasku. Kelas 10a.
Anak baru, status yang masih aku sandang, aku belum
punya temen, tapi… “Hai, aku Reta, kamu anak baru yang dari Bogor itu ya?” ucap
seseorang sambil mengulurkan tangannya
“Iya, … Aku Intan” aku menjabat tangannya,
“Duduk sama aku aja ya” tawarannya menyelamatkanku.
Pulang sekolah, aku dijemput mamaku dan di
belakangku ada wanita yang tadi narik
tangan Ilham, sepertinya ia masih saja sinis menatapku.
“Ilma, Silvi diajak juga ya, daripada naik angkot”
ucap mamaku “Emm,
iya” jawabku, dari mana mamah mengenalnya,
batinku.
“Silvi, ayo…” ajak Mamah , Silvi kebingungan,
tapi tetep aja masuk mobil.
Di dalam mobil Mamah cerita kalau Silvi ini
tetangga yang mau Mamah kenakan .
“Tapi sepertinya rencana Mamah gagal” pikirku dalam hati. “Intan
Sampai di rumah cepat sholat, makan dan ganti baju, kita mau ke kantor ayah”
ajak Mamah. Walaupun Mamah seorang Kristiani,
ia tetap menyuruhku untuk sholat. Selama diperjalanan Silvi kelihatan nggak
bersahabat, dan ketika sampai di depan rumahnya aku terperanjat karna rumahnya
jauh dari layak untuk dijadikan tempat tinggal. Sampai di depan rumah aku lihat
kotak posku terbuka, mungkin ada surat,
“Aku turun disini aja buk” kulihat isinya, Ya…
bener, ada surat, dari Nisa. Sahabatku… “Alhamdulillah”
“Hei” ucap seseorang mengagetkanku
“Ilham” ucapku lega
“Intan, ini rumahmu, itu rumahku (sambil menunjuk
rumahnya) duluan ya” ucapnya keren…
Sudah malam, aku baru pulang jalan-jalan sama Ayah
dan mamah, aku naik ke kamar, aku mengambil surat dari Nisa, disana Nisa
menuliskan kalau dia turut gembira atas keadaanku yang baik-baik saja ,dan dia
berpesan aku harus sukses demi dia. Dan Atta akan pulang ke Indonesia akhir
musim dingin nanti.
Puas membaca surat aku keluar melihat
bintang, tapi yang aku temui malah Ilham di seberang sana “Ilham…” sapaku “Hei,
suka bintang juga?” tanyanya “tentu” jawabku enteng “Besok, habis sholat Isya’
mampir ke rumah lihat bintang sama aku” ajaknya seraya masuk ke rumahnya “Cool
banget sih” pikirku sambil senyum-senyum sendiri. Astagfirullah,
“ingat, Intan ingat Atta, Atta,Atta” bicaraku
dalam Hati
Malam ini aku menepati janjiku, aku diajak melihat
bintang. waw Ilham mengeluarkan teropong dari gudang bawah. Dengan terpong
bintang di tata surya terlihat jelas, walau tidak teratur namun terlihat indah.
Emm, senang rasanya walaupun nggak begitu mengerti tentang benda-benda langit
ini.
“Cari
bintang kesukaanmu!” perintahnya seraya duduk menyandingku
“Itu” sambil kutunjukkan padanya lewat
teropong
“Pilihan yang bagus” komentarnya dengan
senyuman manisnya. Setelah aku lihat jam jam telah menunjukkan pukul 20.00
malam, aku izin pulang, Ilham mengantarku turun, saat di depan pintu dia bilang
“Intan. kamu adalah bintang yang tak bisa
lepas dari bulan yang bernama Ilham” aku membisu. lalu dia menutup pintunya.
Aku pulang dengan pikiran janggal, rasanya itu sebuah pernyataan dari Ilham,
tapi aku nggak berani mempercayainya.
Nggak terasa sudah 3 bulan aku di Jakarta, aku
berhasil melampaui waktu disini dengan Ilham. Tapi hubungan kami masih sebatas
teman bisa, teman yang tidak seistimewnya dengan Atta. Hari ini hari
perpisahan, mengapa tiap kali aku mempunyai teman dan begitu cepa pula ia
pergi.
Acara perpisahan Aku dan Ilham selesai, aku
menunggu jemputan dari Mamah seperti biasanya, tapi entah kenapa Mamah belum
datang juga , sampai-sampai Ilham menemaniku. Tiba-tiba handphoneku berdering,
dari Papah tertera di layar
“intan cepet ke RS Harapan Bangsa, Mamah kecelakaan”
aku tersentak,
Ilham yang mengetahui hal ini langsung
menyeretku dan memboncengku menuju rumah sakit.
“Mamah kecelakaan di perjalanan menjemputmu, jangan
sedih… dokter akan berusaha” kata Papah menenangkanku. Aku teringat Ilham yang
berjasa atas hal ini, dia di sampingku, keringatnya bercucuran, kuambil sapu
tanganku kuusap keringatnya, dia tersenyum dan menghapus air mataku. Moment
yang indah untukku. Tapi tak seindah Momentku bersama kak Atta
“Intan?” tiba-tiba Ilham mengagetkanku.
Ia gugup wajahnya pucat pasi, aku bingung akan
tingkah lakunya yang aneh, sepertinya Ilham ingin mengungkapkan sesuatu
kepadaku.
“ya?’
“kamu mau nggak jadi pacar aku?”
“apa?”
“iya kamu mau nggak jadi pacar aku?”
Tiba-tiba aku tersedak dengan kueh yang ku makan
sedari tadi, aku tak menyangka Ilham mengungkapkan kalimat itu padaku, kali ini aku merasa bahagia dan sedih.
Bahagia lantaran ada bnayak sahabat yang sangat sayang kepadaku.Sedih lantaran
ketika Mamah koma , aku harus bijak memilih ungkapan rasa yang telah ilham
ucapkan.
“Ilham?”
“iya?’
Aku hanya menggelengkan kepala. sedih
“kenapa?’
“aku tau kamu sangat sayang padaku, aku nggak bisa.
dan aku belum siap untuk Pacaran, aku lebih memilih persahabatan dari pada
Pacaran!”
Keadaan hening seketika.
Tiba-tiba Ilham memegang tanganku menangis terharu
akan ucapan itu, dan Dokter keluar dari ruang Oprasi ,katanya mamah Siuman dan
tiga hari lagi mamah boleh diijinkan pulang.
sejak saat itu hubunganku dengan Ilham tak ada perbedaan , malah kami
semakin akrab, Ilham semakin mengingatkanku pada seseorang yang sedang menuntut
ilmu di negri paman sam. “Kak aku kangen kakak :’) )
BAGIAN 3
20 Maret
2012
Hujan…
Memang tak terlalu deras, tapi sudah cukup untuk
membuat seragam ku basah setidaknya aku sendirian, aku menyukai hujan tapi
bukan karena aku menyukai basahnya aku hanya menyukainya , ketika air hujan
bisa menutupi tangisku
Ternyata benar tentang apa yang sering dikatakan
orang-orang
“menyembunyikan daun harus di tengah hutan.. Dan
menyembunyikan tangis harus di tengah hujan”
Seandainya waktu dapat berputar kembali…
Tapi tidak mungkin kan?
Karena air yang mengalir pun tak akan berhenti
untuk mengikuti takdirnya, tangis ku memang tak ada gunanya
Sepi, sunyi, senyap dan sendiri… Terlalu munafik
jika ku berkata tengah takut disini, karena kata-kata itulah yang telah
mendarah daging pada tubuh orang kesepian ini, kak Atta, Nisa apa kalian
bahagia disana? Tanpa aku? Yah aku hanyalah yang pembawa masalah? Pasti kalian
bahagia kan?
Hujannya semakin deras.. Seperti tengah mendukung
kegiatan ku untuk menangis lebih keras..
“Intan…” panggil sebuah suara yang amat ku kenal,
charli itulah dia
“apa yang kau lakukan disini?” lanjutnya lagi
“pergi..” ucapku
“hei Intan… Apa kau tahu makna dibalik nama mu
itu?” ucapnya
Jujur aku tidak tahu dan aku tidak terlalu berminat
untuk tahu, ayah dan ibuku juga tidak pernah memberitahukannya pada ku, kenapa?
Tentu karena mereka tidak disini, mereka meninggalkan ku, sendirian…
“kuat…” ucapnya seolah dia yang mengerti semuanya
Aku tertegun sesaat
“mereka ingin kau kuat.. Mereka ingin mewujudkan
melalui nama pendek mu itu..” ucapnya meyakinkan
“mereka ingin ku kuat? Nyatanya aku memang sudah
kuat.. Aku di dunia ini sendiri… Mereka pergi..” ucapku dengan linangan air
mata yang tersamar oleh air hujan
“sudahlah jangan menangis.. Itu tidak cocok untuk
mu” ucapnya sungguh menyebalkan
“…” aku hanya diam
“apa kau tahu… Setidaknya kau hargai nama itu..
Karena mereka sungguh menyayangi mu.. Dan karena mereka menyayangi mu lah
mereka tidak membawa mu pergi bersama”
Aku diam saja
“mereka masih ingin kau menikmati hidup…
Bersemangatlah.. Karena akan ada pelangi setelah hujan” ucapnya
“maaf tapi sepertinya aku tidak mempercayainya…
Karena kebahagiaan ku telah tersesat untuk menemukan ku….”
“tersesat? Carilah mereka! Dan arahkan kepada jalan
yang benar! Hidup mu masih panjang.. Masa lalu? Tataplah lurus ke depan dan
jadikan yang lalu pelajaran.. Hidup cuma sekali kau sia-siakan maka kau akan
menyesal sesudah mati..!” ucapnya separuh berteriak
“apa aku dapat mempercayai mu?”
“apa?”
“tentang pelangi sesudah hujan?”
“hem.. Percayalah…” ucapnya
Yang kemudian hujan reda secara perlahan yang
setelah itu disambut dengan sinar yang nampak datang dengan malu-malu bersama
sebuah senyuman dari pelangi.
“aku percaya” ucapnya sambil menatap pelangi
itu, mengingat aku slalu memandangnnya bersama kak Atta tak sedikit
ucapan Motivasi keluar dari bibirny. Itu yang membuatku kembali tegar akan
masalahku yang sedang kualami ini, Kak Atta terima kasih :’)
BAGIAN 4
17 april
2012
Cerita ini kudapat dari sobekan diary kecilku,
ceritanya sedikit menggemparkan bagi siapa yang membacanya karna pada saat itu
Malam semakin pekat. Kegelapan yang menyelimuti malam di Kota Gandaria membuai
kehidupan Mewah dalam kesunyian yang dalam. Semilir angin yang berhembus
mengantarkan sang Dewi Malam ke dalam tapuk penguasa malam. Kabut malam di
langit, menenggelamkan sang rembulan dan bintang ke dalam selimut kepekatan.
“Aaaaaa…!!!”
Terdengar suara jeritan perempuan yang memecahkan
keheningan malam. Suara jeritan perempuan itu begitu kerasnya dan menggema ke
seluruh pelosok kampung yang cuma berisi puluhan rumah saja.
Pak Dennis pemuda kampung yang malam ini sedang
mendapat jatah tugas ronda, segera berlari ke arah asal suara itu bersama teman
rondanya sambil memukul kentongan. Dennis pemuda yang baru seminggu menikah
dengan gadis kampung pujaannya, Livina, tampak sangat cemas dengan jeritan
suara ini yang seperti mengarah pada rumah mertuanya tempat ia dan istrinya tinggal.
Suara kentongan yang saling bersaut membuat
penduduk Komplek Gandaria terbangun dari tidurnya dan semua beranjak ke luar
rumah melihat situasi. Kehidupan mendadak muncul kembali malam ini di komplek
Gandaria gara-gara jeritan seorang wanita.
Malam ini Malam Selasa Kliwon. Malam dimana seluruh
penduduk komplek Gandaria yang berjenis kelamin laki-laki sibuk berjaga dan
meronda. Sudah tiga bulan lamanya tiap malam Selasa Kliwon penduduk Komplek
Gandaria diteror oleh manusia yang cuma bercawet belel. Manusia bercawet belel
ini meneror rumah-rumah penduduk dengan mencuri barang berharga tanpa diketahui
tuan rumah yang tertidur pulas. Yang lebih mengerikan terutama bagi kaum
wanita, manusia bercawet memiliki sifat c*bul. Makhluk ini doyan sekali
meniduri istri-istri para penduduk kampung dan sialnya para suami mereka sering
tidak tahu kalau istri mereka mengalami pelecehan oleh manusia bercawat ini.
Suara jeritan perempuan tadi terus menerus
terdengar, Dennis semakin yakin bahwa suara jeritan itu berasal dari rumah
mertuanya. Dennis sadar suara perempuan yang menjerit-jerit adalah suara
istrinya, Livina dan adik kandungnya Rachel. Malam ini hanya mereka berdua yang
tinggal di rumah sementara mertuanya pergi menginap di rumah famili.
Dennis berlari sangat cepat mendahului
rekan-rekannya. Rasa cemas yang sangat, membuat pengantin baru ini berusaha
secepat mungkin sampai di rumah mertuanya. Dennis tak ingin istri dan adiknya
menjadi korban kec*bulan manusia bercawat belel.
Sampai di rumah mertuanya masih terdengar juga
suara dua orang perempuan yang saling menjerit-jerit.
“Livina, buka pintunya!” Kata Dennis sambil
menggedor-gedor pintu depan rumah.
Bukannya membuka pintu depan, Livina dan Rachel
malah semakin keras jeritannya. Dennis menduga bahwa si manusia cawet belel
telah berada di dalam rumahnya. Karenanya Dennis segera mencongkel pintu dengan
tongkat besi yang biasa ia bawa jika meronda.
Pintu depan berhasil terbuka. Dennis dengan
cepatnya langsung masuk ke dalam ruang kamar tidur dimana ia melihat istri dan adiknya
saling berpelukan sambil menjerit-jerit ketakutan.
“Mana makhluk bercawet itu?” Kata Dennis sambil
menghunuskan tongkat besinya.
“Dia.. dia.. dia…” Kata Livina terbata-bata
sangking ketakutannya sambil menunjuk ke arah ranjang tidur.
Dennis tertegun begitu melihat makhluk yang berada
di atas ranjang tidur.
“Pantas saja mereka berdua menjerit-jerit
ketakutan” Kata Dennis dalam hatinya.
Mahkluk itu berkumis panjang tapi hanya beberapa
helai saja. Mulutnya agak kepanjangan, telinganya lebar dan bulat. Meski tubuh
mahkluk itu mungil, namun ia memiliki ekor yang panjang. Makhluk itu memang
benar-benar mahluk yang menjijikan dan terus menerus giginya mengerat-ngerat
papan kayu ranjang.
Mahluk menjijikan yang membuat dua perempuan muda
menjerit-jerit itu mendadak bersuara begitu melihat Dennis.
“Cit.. Cit… Cit.. Cit…”
BAGIAN5
30 mei 2012
Minggu itu adalah minggu yang amat bosan bagiku,
tak ada pekerjaan yang bisa kulakukan selain melamun dan menulis, yah begitulah
aku, sebuah pena adalh temanku yang slalu setia disaat seperti ini, beberapa
menit kemudian HP ku bergetar menandakan datangnya satu buah pesan, ku genggam
ponselku dan memijit tombol open tuk membuka siapa yang mengirim pesan di pagi
buta ini
sender : Faiz Attaqi
“Dek, kakak pulang!!”
Kalimat itulah yang membuatku tetap disini, entah
semuanya nyata atau tidak nantinya tapi aku selalu percaya itu. mungkin memang
tak seindah saat janji itu terukir dengan indah dalam ingatan kami
masing-masing, maka tak sabar ku nantikan semuanya nyata bagiku. Hari inilah
yang selalu kunanti setiap detiknya, sudah lama sekali kami tak bersua seperti
dulu, kuharap semuanya akan baik-baik saja. Selalu ku lenyapkan semua
kemungkinan yang akan kau lakukan nantinya, selagi ku yakin bahwa aku, selalu
percaya semua akan menjadi nyata.
Sudah satu bulan ini dia tak pernah muncul dengan
janjinya, apakah semuanya sudah berakhir, apakah ia terlalu sibuk dengan
dunianya hingga lupa dengan semuanya, aku tak pernah tahu. Kugerakkan tubuh ini
untuk mencarinya, kuhabisnya waktuku hanya untuk tahu segala tentangmu
sekarang. Sekarang Libur musim dingin Kak Atta pulang.
Enam bulan telah berlalu sejak hari itu, namun aku
masih saja berkutat dengan segala tentangmu. Akhirnya kutemukan juga dimana
dirimu berada, kusiapkan hati ini untuk menemuimu saat itu. namun semuanya
terasa bagai badai yang datang di musim gugurku yang indah,
segala terhenti tanpa pernah ku tahu
akhirnya. Tak kukenal lagi dirimu disana, tak pernah kulihat lagi kau curahkan
rasa yang sangat aku kenal. tatapan matanya, senyumnya, candanya, tawanya,
dekapan tangannya, pelukannya, bibirnya saat menyentuh pipiku, bagai slide film
yang berputar di depan mataku. Baru ku sadari selama ini, semuanya ternyata
bukan untukku, bukan untuk duniaku. Hanya senyuman getir yang terhias di
wajahku, tapi entah kenapa aku puas, semuanya benar-benar berakhir di depan
mataku sendiri, seperti terlepas dari beban yang sangat menyakitkan. Aku
bahagia musim Dingin yang indah berlalu dengan cepat di hati ini, karena sudah
menanti disana guguran salju yang selalu menyejukkan hatiku. meski tak secerah
musim gugur, tapi semuanya terasa sangat indah bagiku dibandingkan guguran daun
kemarin.
Tanpa kusadari langkahku tak berat lagi, senyumku
lebih mengembang dari biasanya, hari-hariku kali ini lebih bermakna dari yang
lalu, kubuka lagi hati ini untuk merangkai lembaran baru bersama dia yang
selalu ada untukku saat ini.
Untukmu yang selalu menerimaku apa adanya, yang
berusaha membuatku tersenyum dikala kumenangis dan melihat diriku melebihi aku
melihat diriku sendiri,
sehingga aku merasa sempurna dengan segala
kekurangan yang melekat dalam diri ini. Kak Atta you is the best for me ,
BAGIAN 6
2 juni
2012
dia,dia dan dia lagi yang slalu ada di fikiranku
membuatku mabuk daratan, lantas aku kembali dalam lamunanku yang dalam hingga
sebuah Cerita terbesit dalam fikiranku, Cerita ini kudapat ketika sepupuku Imam
tengah meilhat seorang anak jalanan yang sedang berjualan di angkot.
Itu
menginspirasi imajinasinya untuk membuat cerita cerita yang sangat mengahrukan
lantaran Pim pim piiimmm. Suara gaduh yang biasa terdengar di jalan-jalan kota.
Debu, asap, polusi semua bercampur aduk. Suasana menjadi pengap dan sangat
panas. Sampah-sampah masih terlihat di pinggir-pinggiran jalan. Lampu merah
menyala. Anak-anak itu berhamburan ke jalan. Ada yang memakai gitar kecil ada
pula yang membawa tutup-tutup botol yang dirangkai sedemikian rupa sehingga
bisa mengiringi lantunan lagu yang mereka nyanyikan. Berhenti dan bernyanyi di
setiap pintu-pintu mobil. Belum selesai lagu mereka beberapa keping uang receh
sudah di tangan. Kemudian mereka menunduk sebagai tanda terimakasih. Lampu
hijau menyala, mereka segera menepi ke pinggir jalan.
Anak-anak itu berpencar dengan tujuan
masing-masing. Namanya juga anak jalanan, selalu berkelana di jalan sepanjang
hari. Dua orang anak laki-laki berkalung dagangan kecil-kecilan itu malah tidak
sesibuk anak-anak tadi. Asyik nongkrong di bangku panjang pinggir jalan itu.
Parahnya lagi keduanya sambil asyik menghisap rok*k tanpa rasa bersalah sedikit
pun. Padahal mereka masih kecil. Paling baru seusia kelas 6 SD. Bersendau gurau
keduanya dan hanya memandangi jalan. Lalu dari arah kanan mereka berjalan
dengan gesa seorang anak perempuan memakai seragam putih biru dengan tas di
punggungnya. Gayanya terlihat kumuh berjalan menghampiri kedua anak itu.
“Hehh! Kalian! Siapa yang suruh nongkrong-nongkrong
di sini!” teriaknya dan memukuli kedua anak itu.
“Apalagi ini, kalian merok*k? Dasar bodoh! Dasar
nakal! Kalian mau mati ya!” anak perempuan itu merebut rok*k dari tangan kedua
anak itu.
“Aduh, Sakit…” rintih kedua anak itu. Anak
perempuan itu mencekal lengan kedua anak itu lalu menyeretnya berjalan.
Anak-anak itu tak berhenti merintih kesakitan.
Mereka berhenti di depan sebuah bangunan hampir hancur.
Ditambal–tambal dengan bahan seadanya. Bangunan itu dijadikan tempat tinggal
oleh anak-anak jalanan itu. Rupanya anak perempuan tadi sangat geram dengan
kedua anak laki-laki itu. Matanya yang bulat mengisyaratkan kalau ia sangat
marah.
“Kenapa kalian tidak kerja?”
“Kami kerja. Kami sedang istirahat. Capek banget
muter-muter sampai terminal.”
“Cuma baru sampai terminal aja ngaku-ngaku capek,
istirahat dulu. Huh! Tidak usah manja! Kalian ini mau enaknya saja. Capek
sedikit ngeluh. Apa-apaan. Terus, siapa suruh tadi kalian ngrok*k? Heh?” kedua
anak laki-laki itu menunduk. Tidak ada yang mau angkat bicara.
“Kenapa tidak jawab?!” anak itu diam sejenak.
“Kalian ini masih kecil. Kalian tau tidak, sih. Kalau kalian ngrok*k sama aja
kalian tu pengen mati! Tau! Darimana uang yang kamu pakai buat beli rok*k itu?
Dari hasil jualan kalian? Iya? Kan udah aku bilang, semua hasil kalian itu
ditabung! Buat nanti kalian sekolah! Bukan buat jajan! Apalagi buat beli rok*k!
Dasar kalian! selama ini dengerin omonganku tidak?” anak itu menghela nafas
sejenak. Kedua anak laki-laki itu masih tetap terdiam.
“Aku peringatkan sekali lagi. Kalau besok kalian
masih ngrok*k lagi, awas kalian! Mau ditangkap polisi? Heh?! Masuk sana!”
Gadis yang beranjak remaja itu bernama Putri. Ia sekarang
duduk di kelas 8 SMP. Anak yang cantik tapi dengan sifatnya yang tegas dan
keras. Hanya satu harapnya saat ini, bisa melanjutkan sekolah serta anak-anak
jalanan yang sudah ia anggap sebagai adiknya itu bisa bersekolah seperti
dirinya. Maka dari itu kelihatannya ia sangat keras kepada mereka. Mereka harus
maju, tak mungkin selamanya mereka hidup di jalan.
Sudah hampir 10 tahun ini ia hidup di jalan. Tak
mungkin tak merasa bosan. Apalagi di lingkungan yang sulit seperti itu. belum
lagi ancaman kapanpun mereka bisa ditangkap polisi. Sebagai anak yang paling
tua, Putri bertanggung jawab. Melakukan yang seharusnya ia lakukan pada
adik-adiknya. Di tempat kecil itu ia hidup bersama 5 orang anak lainnya. Mereka
semua terhitung masih kecil duduk di bangku sekolah dasar.
Malam ini waktunya Putri menyiapkan makanan
seadanya. Nasi dengan lauk satu buah telur dadar yang dibagi berlima. Sudah
terbiasa kalau Putri harus makan tanpa lauk.
“Kalian itu jangan macam-macam, ya. Kalau harus
kerja, ya kerja. Nggak usah memikirkan yang lain. Nggak usah coba-coba. Kalau
harus nyemir ya nyemir aja. Kalau harus ngasong ya ngasong. Harus jualan ya
jualan. Selain apa yang aku perintahkan nggak usah melakukan yang lain.
Terutama kalian! Didit, Oni! Kalau besok kau ulangi lagi, aku nggak peduli
kalian mati di jalan! Ngerti?” nasihat Putri yang terdengar sangat tegas. Namun
di balik itu semua Putri tidak ingin anak-anak terjerumus pada hal yang tidak
baik.
“Ya…” jawab mereka serempak.
Esok paginya, mereka sudah bersiap masing-masing.
Menata barang-barang asongannya. Alat-alat semirnya. Serta jualan kue nya. Ya,
Putri tidak mengajari mereka mengamen atau mengemis seperti anak-anak yang
lain. Walaupun hasilnya tak lebih banyak, tapi itu cukup mengajarkan mereka
untuk bekerja keras. Sementara Putri sendiri sekolah dari pagi hingga siang,
setelah itu harus menjadi kuli angkut tepung di pasar.
Siang ini Putri tak mendapati Didit dan Onni
berjualan di tempat biasanya ia lewat. Di rumah mereka pun tak ada. Tiba-tiba
seorang ibu yang biasa ia temui di pasar datang.
“Put.. Didit dan Onni tadi ikut ketangkep
polisi..!!” kata ibu itu terengah-engah. Putri jadi panik. Ia berpikir keras
dan khawatir.
“Makasih, Buk.” katanya. Ia lalu lari tanpa sempat
berganti baju dahulu.
Benar saja kantor polisi penuh dengan anak-anak jalanan. Namun Putri belum menemukan Didit dan
Onni. Rupanya mereka sedang duduk di hadapan pak polisi. Kenapa sampai
ditanya-tanya.
“Apa yang kalian lakukan di tempat itu? Kalian juga
pesta di situ? Darimana kalian dapatkan?” tanya pak polisi bertubi-tubi. Didit,
Onni, bersama bandit-bandit itu. Anak-anak bandel dan nakal yang menyebalkan.
“Kami tidak pakai nark*ba, Pak. Kami hanya main…
istirahat..” kata Didit gemetaran. Hah? Nark*ba? Jadi mereka dituduh pesta
nark*ba?. Batin Putri
“Tapi kalian juga merok*k! Apa hanya itu?”
“Maaf, Pak. Jadi bapak menuduh anak ini pesta
nark*ba?” kata Putri menyela ketegangan itu.
“Kamu siapa lagi? Pergi sana kalau tidak ada
keperluan! Mengganggu saja!”
“Saya kakak mereka, Pak.”
“Oh, benarkah? Lalu kamu juga ikut dalam pesta
itu?”
“Saya sudah bilang mereka tidak pesta nark*ba, Pak.
Darimana bapak tahu kalau mereka pesta nark*ba?”
“Heh! Sudah sejak dulu tempat itu menjadi sarang
mereka. Anak-anak itu juga melihatnya sendiri. Belum puas ditambah merok*k.”
kata pak polisi menunjuk pada bandit-bandit bandel itu. Putri sungguh jengkel.
Dasar anak-anak tukang bohong. Pasti mereka mengada-ada saja untuk mencelakai
Didit dan Onni.
“Jadi bapak percaya omongan mereka? Bukankah semua
harus disertai bukti, Pak? Lalu kalau mereka benar-benar memakai nark*ba,
kenapa sampai sekarang mereka baik-baik saja? Bukankah pemakai nark*ba selalu
menjadi aneh? Mereka bukan pemakai, Pak. Anak-anak itu bohong! Mereka menuduh
orang lain, padahal mereka sendiri yang melakukannya, Pak!”
“Hei! Dia bohong, Pak!” bantah anak-anak bandel itu
sempoyongan.
“Apa? Kalian yang bohong! Sudah jelas-jelas kalian
yang biasa memakai! Lihat, Pak! Mereka jadi gila seperti itu.”
“Heh! Pembohong, Pak. Dia itu yang tukang tuduh!”
“Sudah! Sudah!” bentak pak polisi menggebrak meja.
“Ini kantor polisi! Jangan buat keributan!” sejenak kemudian semua menjadi
diam.
“Baiklah. Nanti kalian akan ikut di penampungan.”
“Mereka berdua juga, Pak?”
“Tentu saja!”
“Tapi mereka bukan pengamen atau pengemis seperti
yang lain, Pak. Mereka jualan. Bukan pengemis, Pak.” protes Putri.
“Sama saja. Mereka anak jalanan yang bandel. Anak
kecil sudah merok*k. Tunggu saja kalian akan dipindahkan nanti.” Polisi itu
beranjak pergi. Pusing rupanya menghadapi anak-anak itu.
“Pak, saya mohon. Mereka adik saya, Pak.” Putri
menahan tangan pak polisi itu. kemudian ia bersimpuh. Didit dan Onni yang
sedari tadi hanya diam karena takut, jadi terkejut. “Jangan bawa mereka, Pak.
Saya akan bertanggung jawab atas mereka. Saya akan menghukum mereka kalau
mereka berani nakal lagi, berani merok*k lagi, Pak. Saya mohon percaya pada
saya, Pak. Saya sekolah, Pak. Lihat seragam saya. Bapak percaya pada saya.” Tak
disangka-sangka Putri meneteskan airmata. Polisi itu mengamati seragam yang
dipakai Putri.dan langsung membebaskan Didit dan Oni
Didit dan Onni berjalan lambat-lambat. Melangkah
mengikuti Putri yang sedari tadi diam. Mereka berdua menunduk tak bisa bicara
apapun. Wajah mereka yang lusuh, baju mereka yang lusuh terkena debu membuat
mereka semakin menyedihkan. Tiba-tiba Putri berbalik matanya menyorot tajam
pada kedua anak itu.
“Kalian ini bandel banget, sih. Aku harus gimana
supaya kalian itu ngerti.” Putri menahan amarahnya. Berlari masuk ke dalam
rumah yang jauh dari sederhana itu.
Putri masih terdiam malam ini. Besok libur, jadi
Putri sedikit tidak peduli dengan pelajaran. Duduk memandang langit melepas
lelahnya hari ini di bangku kecil depan rumah. Didit dan Onni dengan
takut-takut mendekati Putri duduk di sampingnya. Putri berpaling masih tak mau
melihat mereka.
“Maaf, Kak. Kami salah. Kak Putri boleh menghukum
kami.” akhirnya Didit bicara.
“Iya, Kak. Kami bandel. Kami takut sampai membuat
kak Putri menangis. Kami akan bekerja keras mulai sekarang. Kami akan rajin
jualan. Kami juga bisa bantu kak Putri di pasar. Kami ingin sekolah juga.”
tambah Onni meyakinkan. Putri berbalik ke arah mereka.
“Kakak? Baru kali ini aku mendengar kalian
memanggilku seperti itu.”
“Kami adiknya kak Putri, kan?” Putri hanya
mengacak-acak rambut kedua anak itu. Didit dan Onni gembira rupanya berhasil
minta maaf pada Putri.
Hari ini wajah Putri berbinar-binar. Ia melangkah
senang dengan bawaan di tangannya. Anak-anak menyambutnya dengan heran.
Menanyakan apa yang ia bawa. Seragam sekolah rupanya. Anak-anak bahagia
kegirangan. Mereka senang rupanya sebentar lagi bisa sekolah.
Mulai hari ini, jadwal mereka berubah. Pagi sampai
siang mereka sekolah, baru siang harinya mereka kembali bekerja. Putri bisa
tersenyum bahagia. Ya, semua pasti tidak ada yang mustahil. Kini apa yang ia
inginkan yang dulu ia kira sebatas angan belaka bisa terwujud. Jika kita mau,
kita pasti bisa.
BAGIAN7
25 juli 2012
Pagi ini aku membuka lemari tua ayahku, setelah
kepindahan ku kemari, kepindahan kembali tepatnya. Aku belum sempat
melihat-lihat rumah tua ini, selain semak belukar di sekeliling rumah yang
berencana akan kupotong nanti. Aku masuk dalam rumahku yang telah lama aku
tinggalakan, entah kenapa ruang pertama yang ingin aku masuki adalah kamar
Mamaku. Aku melihat isi dalam lemari di dalam kamar mama, debu-debu membuat aku
tak bisa bernafas dengan baik. Kapan terakhir ayah membersihkan ini? huh, rumah
sebagus ini kenapa dibiarkan terbengkalai begitu saja? Dan saat ku tanya
alasannya pasti sama, ayah akan teringat mama saat kemari. Tapi mulai tahun ini
kuputuskan untuk kemari, tidak peduli pada ayah, aku rindu rumah ini, hal
terakhir yang kuingat, adalah saat aku bermain dengan lumpur di halaman
belakang dengan Juno. Mungkin dia juga salah satu alasan kenapa aku kembali
kemari. aku selalu tersenyum sendiri jika mengingatnya.
Debu dalam lemari itu mulai beranjak turun tertarik
gravitasi, dan aku juga mulai bisa melihat bagian dalam lemari itu, beberapa
benda-benda lama tertata di dalam lemari, ada beberapa baju-baju lama, mungkin
itu baju mama. Jika telah kucuci aku ingin memakainya. patung, guci, mawar
kering, cincin, buku diary berwarna biru, aku penasaran, apa yang ditulis mama
waktu muda?. Kisah cinta yang romantis, kencan pertama, atau bagaimana ayah
menyatakan perasaannya. Walaupun kini mereka telah berpisah aku yakin ada
serpihan Cinta yang masih tertera dalam hati mereka. Aku membuka halaman
pertama diary itu.
2 juni 1995
Sebaris kata-kata itu terlalu memusingkanku.. sejak
kapan aku tak bisa mengeja kata inspirasi dengan benar dalam waktu 5 detik?
Seorang dokter bilang gejala ini adalah awal dari sebuah penyakit. Tapi
penyakit apa yang membuat kita bodoh perlahan-lahan? Mengingatnya aku ingin
tertawa. Memang aku pernah menonton sebuah film, dimana tokoh utama yang
berusia lebih dari 60 tahun menderita alzeimer, sejenis penyakit kepikunan,
yang pada akhirnya dia menjadi bodoh perlahan-lahan, amnesia tahap demi tahap.
Tapi bukankah itu hanya sebuah film? Lagi pula aku 24 tahun. Apa yang
kupikirkan… aku hanya tak bisa mengeja inspirasi dengan benar, bukankah itu hal
biasa? Semua orang pernah mengalami hal yang seperti itu.
7 agustus 1995
Akhir-akhir ini aku sering membuat masalah,
sebanyak 12 kali dalam seminggu aku mulai sering melupakan sesuatu,
meninggalakan kartu ujian di meja belajar, handphone, tugas, uang saku di depan
teras, menggunakan sandal saat ke kantor, meninggalkan dispenser yang masih
mengalir airnya, atau hal-hal lainnya. Aku benci dengan itu, aku benar-benar
pikun melebihi nenekku yang telah berumur lebih dari 60 tahun.. adikku sering
mengkhawatirkanku tentang itu. lebih baik dari sebelumnya yang selalu tak acuh
padaku. Bebarapa teman memberi saran agar aku sering mencatat jurnal, tapi itu
pun aku sering lupa.
5 september 1995
Kali ini aku benar-benar takut, dokter mulai
menyarankan ku meminum obat-obatan yang ditulis dalam resep. Aku harus mulai
menabung untuk menebus obat-obatan itu. adikku yang dulu sangat menyebalkan
kini mulai bersikap baik padaku, dia membantuku bekerja agar aku dapat menebus
obat-obat itu, dia juga mulai sangat memperhatikanku. Aku bahkan telah lupa
bagaimana sikap menyebalakannya beberapa bulan yang lalu. Yang masih membekas
di otakku adalah, sikap dingin pertamanya saat ayah dan ibu meninggal. Aku dulu
tidak tahu bahwa dia sangat mencintaiku sebagai kakaknya, kupikir hanya aku
yang menyayanginya, ternyata kasih sayangnya melebihiku.
22 november
Aku akan bodoh akhir-akhir ini, aku melupakan 2
nama klien penting saat meeting, melupakan salah satu member westlife,
melupakan nama atasanku, melupakan janji dengan temanku. Aku tidak tahu akan
sebodoh apa aku nanti, semakin lama aku semakin takut.
12 desember 1995
Aku lupa menulis tahun di belakang bulan dalam
jurnalku, apa itu masalah besar? Sekarang setiap hari seperti menancap duri di
tanganku, semakin lama semakin sakit. Tidak tahu akan berbicara dengan siapa.
1 januari 1996
Regar pria yang baik, dia mendekatiku di malam
tahun baru ini, aku merasa aneh saat didekatnya, tapi aku takut, aku takut dia
tahu aku bodoh, aku takut dia membenciku karena aku ceroboh dan berkepribadian
buruk. Aku takut.
9 Februari 1996
Aku lupa kapan aku menerimanya, dan entah kapan aku
mulai sadar, Regar adalah kekasihku sekarang. Kadang aku bahagia menerima
kenyataan itu, tapi kadang juga aku menyesal.
14 maret 1996
Saat bangun dari tidurku aku melihat seseorang di
depan ku, dia terus menatapku dengan penuh tanda Tanya, kutanya pada adikku,
siapa dia? Kenapa menatapku seperti itu. adikku dengan mata sedihnya yang
sering kulihat berkata, dia adalah bayanganku sendiri dalam kaca. Aku tidak percaya,
aku bahkan tak memngingat wajahku sendiri.
6 mei 1996
Aku melakukan perawatan kulit untuk pertama kali
dalam 3 tahun belakangan ini, awalnya aku tak ingat kenapa aku melakukan itu,
tapi adikku bilang Regar melamarku sebulan yang lalu. Dan aku menerimnya, aku
marah pada diriku sendiri namun seperti marah pada adikku, kenapa aku
menerimanya, bagaimana kalau dia tahu aku penyakitan seperti ini?, tapi adikku
dengan menangis berkata kalau dia sudah lama tahu.
15 mei 1996
Aku menikah, dengannya. Banyak temanku yang datang
tapi sebagian besar aku telah lupa siapa mereka, dan yang lainnya aku telah
lupa namanya. Kenyataan tidak ada satu tamu pun yang ku kenal dan dekat
denganku, aku merasa asing di pernikahan ku sendiri.
2 September 1996
Aku hamil, begitu kata suamiku pagi ini, dia bilang
aku telah melakukan test sebanyak tiga kali untuk meyakinkan itu.
14 januari 1997
Aku merasakan kehidupan dalam perutku. Tapi
lagi-lagi aku takut, bagimana jika suatu hari dia bertanya kenapa ibu bodoh?
Atau aku melupakannya dan membuat dia terjatuh dari balkon setinggi ini. aku
takut.
28 mei
Beberapa hari lagi dia akan keluar dari perutku.,
dan aku masih sering lupa kalau dia ada.
28 Mei 1997
Tadi pagi aku merasakan sakit yang amat sangat di
perutku, aku tidak tahu mengapa, seperti anak di perutku akan segera keluar.
Rasanya ku sangat takut, ketakutan yang amat sangat. Tapi ada rasa aneh yang
menjalarku, rasa bahagia akan sebuah penantian, dan aku sedikit menyesal karena
tersadar dengan perut yang masih membesar. Jika hal seperti tadi terjadi lagi
entah besok atau kapan, aku berdoa pada tuhan ambil saja nyawaku saat itu, biar
dia bahagia dengan ibu yang sehat, tuhan jika dia sudah besar sampaikan padanya
aku menyayanginya, dan sampaikan maafku, jika aku pernah tidak sama sekali
menginginkannya. Maafkan aku yang pernah berpikir akan menjatuhkannya dari
balkon. Setidaknya hal itu tidak akan terjadi.
—
1 january 1999
Bayi ku lahir, bayi yang cantik dan sehat, gemuk
dan merah. Intan Fitriani . Tapi dalam senyumku aku menangis, Suamiku tak
sempat melihatnya.
3 january 1999
Bingung apa yang harus aku lakukan ada dua faktor
yaitu bingung apa yang harus malaikat kecilku lakukan, aku seorang Kristiani,
dan ayahnya seorang muslim. Baik kami membuat keputusan malaikat kecilku ini
akn menjadi Muslimah dengan syarat aku biayin sekolah dan kebutuhan dia.
13january1999
Desi gadis cantik, yang penderitaannya membuat aku
sadar aku sangat mencintainya, tidak masalah dia lupa saat aku memberinya 35
bunga pada 1 February 1997, saat dia lupa bagaimana aku melamarnya, saat dia
selalu dingin padaku, dan juga tidak masalah dia melupakan namaku beberapa hari
setelah menikah. Tapi aku tetap mencintainya. Semakin lama semakin besar. Dan
mulai saat ini aku akan sangat merindukanya. Aku tidak akan menangis karena dia
pergi, karena aku tau dia melihatku disana. Dia akan membantuku merawat Intan.
Sampai dewasa nanti.
—
Aku menangis membaca jurnal mama ku ini, ada apa?
Aku bahkan tak dapat berkomentar saat membacanya. Aku mebisu, pikiranku terpaku
dan kini air mataku mengalir, Tuhan jaga ibuku disana. Hanya itu, apa yang
harus kulakukan lagi aku tidak tahu. Yang jelas saat ini aku ingin pulang dan
minta maaf pada ayahku, lalu memeluknya erat.
Mama… I miss you!
Bagian 8
19 agustus
Cerita ini kudapat ketika ku malamun selam satu jam
lebih di dalam kamarku. terkadang aku menangis akan lamunanku itu tapi kali ini
Aku takkan menangis. Kau sendiri yang menyuruhku agar jangan menangis. Awalnya
aku memang cengeng. Teramat malah. Air mataku begitu saja menetes jika perasaanku
terguncang. Tapi sejak saat itu, aku bertekad, aku berjanji tak akan menangis
lagi!
“Jangan menangis. Menangis hanya akan membuatmu tak
manis lagi,” tersenyum kau berucap, sementara tanganmu menyeka air mataku. Aku
hanya bisa menunduk sebab ada ketakrelaan yang mendekam di hatiku.
“Berjanjilah padaku, setelah ini kau takkan
menangis lagi.”
Kau menatapku dalam, aku masih terisak lalu
mengangguk pelan. Perlahan aku memelukmu erat, tak ingin kau pergi. Mencoba
meresapi segalanya dengan harapan semoga pelukan itu bukanlah yang terakhir
untuk kita.
“Aku berjanji akan menunggumu, Kak Atta. Lekaslah
pulang.”
“Ya, aku berjanji akan pulang untukmu. Aku hanya 3
tahun di Pesantren. Setelah itu, aku akan pulang. Kita akan menikah,” kau
berucap penuh kepastian lantas mengelus rambutku pelan, semakin memberiku
ketentraman dalam dekapanmu. Itu yang ku mau langsung menikah tanpa adanya
pacaran.
“Aku pasti mengabarimu…” kau berucap lirih lantas
beranjak menuju bis yang kemudian membuatmu melambaikan tangan. Menjauh dariku.
Semuanya lenyap seketika; segenap perhatian, canda
tawa, juga sosokmu yang perlahan menjauh, terus menghilang dari pandanganku
bersama lambaian terakhirmu.
Berat sekali melepasmu, sosok yang selama ini
terikat erat di hatiku. Tapi tetap harus kurelakan kepergianmu, demi masa depan
kita, juga demi cita-cita terbesarmu; menjadi orang pertama yang meraih gelar
Ustad di desa ini.
Selepas kepergianmu, hari-hari kian berat kuhadapi.
Aku tak bisa. Sungguh tak mampu melepas bayangmu yang terus saja muncul dalam
sadar maupun lelapku.
Perlahan aku mencoba menyibukkan diri, berharap
bisa sedkit terlepas dari bayangmu yang kian akut dalam benakku. Pagi hari, aku
mengajari lansia desa ini agar bisa menulis dan membaca. Sore hari, aku
mengajak anak-anak kecil untuk bermain di tengah pematang lantas menuju tempat
di mana kita terbiasa menghabiskan waktu bersama, sebuah gubuk kecil di tengah
pematang. Aku mengajari mereka tentang kehidupan yang akan mereka jalani, bahwa
beban kehidupan akan bertambah seiring dengan jarum jam yang terus berdentang,
menuntut sebuah kedewasaan.
Di gubuk kecil itulah, dulu kita terbiasa bersama.
Sering kau katakan padaku bahwa kau ingin jadi penulis, penyusun prosa liris.
Sebab itu, aku seringkali memintamu menuliskan sesuatu tentangku, meski tak
benar-benar tentangku; senyumku, manjaku, atau segala hal yang selama ini kau
dapat dariku. Bukankah kau memahamiku dengan amat baik? Tapi kau selalu saja
berucap, belum saatnya menjadikanku tokoh utama dalam karyamu.
Kau juga mengajariku banyak hal di sana, terutama
mengenai imajinasi tanpa batas yang pada awalnya membuatku bingung dengan olah
pikirmu. Katamu, semesta mulanya merupakan gumpalan awan yang kemudian Tuhan
bentuk menjadi bermacam-macam atas nama cinta. Kau juga pernah bilang bahwa
pelangi yang indah dan langit senja yang kemerah-merahan itu adalah selendang
bidadari yang sengaja Tuhan hamparkan ke dunia sebagai bukti cinta-Nya pada
semesta. Pun, dengan rembulan dan taburan bintang yang katamu juga sengaja
diciptakan Tuhan agar malam tak selalu kelam. Barangkali karena itulah kau
sering mengajakku menyaksikan indahnya pelangi, langit yang kemerah-merahan,
serta langit malam yang tengah berhias cahaya rembulan dan bintang-bintang.
Sudahlah, aku tak bisa melanjutkan ingatanku
tentangmu. Aku belum mampu menerima kenyataan bahwa kau tak lagi di sampingku.
Menutup segalanya.
Seperti kau tahu, setelah keberangkatanmu itu, aku
terus saja menantikan kabar darimu. Maka setiapkali kulihat tukang pos melewati
jalanan panjang itu, aku akan berlari dari tengah pematang dengan membawa
harapan besar. Dan di saat harapan itu berujung kekecewaan, mereka, anak-anak
itu akan menghiburku dengan tingkah mereka lantas menarik lenganku, kembali ke
gubuk itu untuk menyaksikan sunset seperti biasa. Suasana langit jingga yang
membuatku makin rindu padamu.
Ingin sekali aku menangis di saat aku teramat
merindukanmu. Tapi aku masih dalam tekadku. Aku tak kan menangis. Inilah
janjiku padamu.
Hanya satu momen yang kukhawatirkan: ketika kau
pulang dengan membawa serta impian terbesarmu. Akankah aku masih mampu tak
mengalirkan air mata bahagia atas semua itu? Namun seperti janjiku, aku tetap
takkan menangis.
Aku tak menangis saat kekecewaan menghantui diriku
sebab dirimu yang tak lagi memberi kabar. Aku tak menangis saat gubuk kecil
kita dibongkar paksa atas nama proyek pembangunan jalanan umum yang membelah
pematang. Bahkan aku tak menangis kala Mamahku meninggal sebab serangan jantung
yang beliau derita setelah mendengar sawah satu-satunya, warisan nenek
moyangnya, diambil paksa atas nama proyek yang sama.
Aku juga berusaha tak menangis di saat harusnya aku
meneteskan air mata; saat kepulanganmu yang berbeda, juga saat kuterima
beberapa lembar karyamu yang kunanti-nanti munculnya selama ini, kisah
tentangku. Seluruh orang di desa ini menyambutmu dengan tetesan air mata, tapi
tidak denganku. Aku tidak lagi seperti wanita kebanyakan yang dengan mudah
meneteskan air mata dalam kesedihan, ataupun kebahagiaan yang luar biasa. Aku
tak boleh menangis. Inilah yang kudapat darimu dan tetap kupertahankan hal itu.
Selepas kepulanganmu, aku suka sekali bermain
hujan. Dalam karyamu, kau gambarkan aku sebagai seorang wanita yang menyukai
hujan. Di akhir cerita, kau tiba-tiba mengisahkan aku sebagai seorang bidadari
yang mendampingimu dengan sayap bianglala beragam warna, termasuk warna yang
menghiasi langit saat senja tiba. Dan kau beri judul karyamu itu dengan,
“Bidadari Yang Kutunggu”. Barangkali itulah yang membuatku menyukai hujan
setelah membaca karyamu untukku itu.
Aku paling suka ketika hujan mulai reda. Suasana
itu selalu mengingatkanku pada awal kita bertemu. Dan di saat itulah, aku
menjalankan aktifitas baruku; membuka lebar-lebar plastik yang kubawa, lantas
menumpuk gerimis yang masih berlarik dari angkasa. Itulah yang kulakukan di setiap
kali hujan turun membasuh semesta. Dan seperti orang-orang itu, kau mungkin
juga tak percaya bahwa kulakukan semua ini demi perasaanku dan hanya untukmu.
Aku tak peduli ketika orang-orang menatap iba
kepadaku kala dingin mulai berkuasa. Aku tak peduli bisik-bisik mereka yang
terkesan mencemoohku. Aku juga tak mempedulikan orang-orang yang menjulukiku
Kembang desa. Aku sudah tak peduli pada apa pun. Hanya satu, bagaimana sebanyak
mungkin aku menumpuk gerimis untukmu.
Dan kini, di saat musim hujan telah berlalu, aku
berniat menyampaikan semua ini padamu. Gerimis yang kutumpuk di setiap kali
hujan tiba agaknya sesuai dengan yang kuharapkan. Lumayan banyak. Cukup untuk
kujadikan hujan agar sampai padamu.
Sesaat lagi, malaikat-malaikat akan turun dan
mengambil gerimis yang sekian lama kutumpuk untuk dibawa ke angkasa.
Menjadikannya gumpalan awan, lantas menjadi hujan dengan suara tangisan panjang
yang teramat memilukan. Itulah tujuanku selama ini menumpuk gerimis, agar
orang-orang tahu aku sedang merindu dan sebagai ganti dari tangisanku selama
ini. Membiarkannya meresap, merembes, lalu sampai padamu yang telah menutup
segalanya. Meninggalkanku yang kini terdiam sendiri di antara kuburanmu yang
masih harum semerbak bunga…
Bagian 9
26
september 2012
Penderitaan adalah lambang kekuatan jiwa, tak akan
aku tukarkan penderitaan ini dengan sukacita manusia. Jiwaku menemukan
ketenangan manakala hatiku bersukacita menerima himpitan kesusahan dan
kesesakan kehidupan. Hatiku terpenuhi kegembiraan, manakala aku bersukaria
dalam derita-Nya. Hanya satu tujuan hidupku, membuat DIA selalu tersenyum di
dalam imajinasinya,
Tapi ku slalu menutupi penderitaan yang sedang ku
alami, aku yakin dengan silir bergantinya waktu aku bisa menimbun Penderitaan
itu , berharap tak satupun dari mereka yang menggali penderitaan ini, mungkin
akan ku ceritkan setets penderitaanku pada kalian.
Kenapa ya di keluarga kecilku tak kutemukan kasih
sayang mereka untukku, namaku Intan. sekarang orangtuaku tak
menyayangiku, mamaku tidak peduli padaku, papaku apa lagi, aku hanya memiliki
seorang Kakak walau dia bukan kakak kandung , dia menyayangiku, namanya Kak
Atta panggilannya bisa Faiz, Atta atau Attaqi tapi aku biasa memanggilnya Atta
.
Berjuta-juta kenangan menghiasi hariku yang penuh
kesedihan ini, kini aku harus menantinya, sebuah penantian yang cukup panjang,
terkadang ku tak sabar akan penantian ini,
“Hustt,,! lagi ngapain melamun terus?” tegur Nisa
sahabatku
“nggak?” kataku mengelak
Nisa hanya melihat mataku yang lebam, lalu ia
menarik pergelangan tanganku untuk Joging di pagi yang secara Abstrak
sanggatlah buruk.
Stelah beberapa jam aku dan nisa Joging. Ia
menceritkan suatu cerita yang membuatku terharu.
“intan sambil istirahat mau denger cerita nggak?”
Aku hanya menganggukkan kepala.
Jadi gini suatu hari
Di hutan ada seekor burung, Pipit namanya. Ia
tinggal sendirian di rumah. Ayah dan ibunya sudah meninggal. Pipit mempunyai
sifat sombong. Ia tak pernah membantu orang lain,
, saat orang lain meminta pertolongannya. Ia
juga suka pamer barang-barang baru yang dimilikinya. Dan dia juga jarang
menyapa temannya yang lain, saat bertemu dengan temannya yang lain di jalan.
Karena sifatnya yang sombong dan tak peduli. Pipit
dijauhi teman-temannya. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Pipit pun suka main
sendiri. Dan saat pergi jalan-jalan dan bertemu teman-temannya, Pipit selalu
dibicarakan teman-temannya, dengan sikap sombongnya itu.
Suatu hari Pipit bertemu dengan Luna, semut merah
yang sangat baik hati. Semut merah yang suka menyapa orang, jika bertemu
dengannya di jalan, langsung menyapa Pipit yang kala itu berpapasan dengannya.
“Siang pipit. Mau pergi kemana?” Tanya si Luna
dengan lembut.
Burung Pipit yang sombong langsung memalingkan
muka, begitu melihat Luna. Ia terus berjalan. Pipit tak peduli pada Luna yang
menyapanya.
“Kalau saja kamu bisa sedikit baik hati pada orang
lain, kamu pasti punya banyak teman. Tak perlu sendirian saat pergi bermain.”
Kata Luna sedih.
Mendengar kata-kata Luna, Pipit tersinggung. Pipit
marah. Pipit merasa diejek oleh Luna. Dengan cepat Pipit membalikkan badan.
Pipit berjalan mendekati Luna.
“Apa katamu tadi?! Kau bilang aku sombong. Tidak
punya teman?” Pipit mengarahkan tangannya pada wajah Luna. Pipit jelas terlihat
sangat marah. “Asal kau tahu. Aku bukannya tidak punya teman. Tapi aku tak mau
berteman dengan mereka. Mereka kotor dan bau. Mereka miskin. Mereka tak punya
baju bagus seperti yang kupakai ini.” Pipit memeperlihatkan pakaiannya yang
sangat bagus pada Luna. “Sebaiknya aku pergi saja. Tidak penting bicara dengan
semut merah, yang kotor dan bau.”
Setelah kalimat terakhir, Pipit pergi meninggalkan
Luna. Pipit pergi dengan sikap sombongnya.
Setelah pipit pergi, Luna menggelengkan kepalanya
dan berucap, “Pipit, kau sangat sombong sekali. Kau pikIr, kau bahagia dengan
sikap sombongmu. Meski kami tidak kaya sepertimu, tapi kami saling membantu
sama lain.”
Luna pergi dengan perasaan sedih.
Setelah kejadian itu, Pipit selalu membuat orang
lain sedih. Pipit selalu mengejek teman-temannya. Ia selalu mengejek pakaian yang
dikenakan teman-temannya itu jelek. Pipit selalu mengejek dan mengusir pergi
teman-temannya, yang datang ke rumahnya. Dengan sikap sombong Pipit yang
berlebihan, teman-temannya tak ada yang mau bermain dengannya. Teman-temannya
tak mau menolong Pipit, jika Pipit ada kesulitan. Suatu hari, Pipit yang baru
saja mencari makanan bertemu dengan Haci, si lebah madu muda. Haci berniat
menolong Pipit, dengan membawakan makanan Pipit. Tapi Pipit langsung marah saat
mau ditolong Haci. Pipit mengira, Haci akan mengambil makanannya. Dengan
sombong dan galak, Pipit menarik makanannya dan menyembunyikannya di balik
bajunya. Pipit juga membentak Haci.
“Hey, Haci! Kalau mau makan cari sendiri! Jangan
ambil makanan orang lain!” bentak Pipit dengan kasar dan keras.
Haci bingung mendengar kata-kata Pipit. Haci cuma
mau berniat menolong Pipit membawakan makanannya, malah dituduh mau mengambil
makanan milik Pipit. Haci pun menjelaskan pada Pipit, kalau dia cuma mau
berniat menolong membawakan makannanya.
“Tidak Pipit. Aku tidak mau mengambil makananmu.
Aku Cuma mau menolong membawakan makananmu. Karena aku lihat, kau kerepotan
membawa makanan sebanyak itu.” Ucap Haci sabar. Dia tidak marah pada Pipit,
yang menuduhnya mau mencuri.
Karena sikap sombongnya sudah terlalu besar, Pipit
tak percaya pada Haci. Pipit pergi meninggalkan Haci. Setelah kejadian itu,
Pipit mulai bercerita pada teman-teman yang lain, kalau Haci, si lebah madu
muda itu, mau mengambil makanan yang ia cari dengan berkerja keras. Tapi,
untunglah. Teman-teman Haci tak terhasut oleh ucapan Pipit. Teman-teman Haci
tidak percaya kalau Haci mencuri. Teman-teman Haci malah tidak percaya pada
ucapan Pipit.
Beberapa hari kemudian Pipit hendak mencari
makanan. Kebetulan persediaan makanannya sudah habis. Pipit pun pergi jauh dari
tempat tinggalnya untuk mencari makanan. Pipit terbang ke sana kemari. Tapi tak
ada satupun makanan yang dia temukan. Sampai-sampai Pipit kelelahan. Pipit
berniat istirahat sebentar. Pipit pun hinggap di sebuah pohon rindang dan
teduh. Selang beberapa saat ia istirahat di pohon rindang itu, ia mendengar
sebuah suara. Awalnya Pipit mengira kalau suara itu cuma angin. Tapi lama-lama
perasaannya tidak enak. Ia yang memejamkan matanya, langsung membuka matanya
dengan cepat, saat sebuah suara yang mirip dengan desisan ular itu terdengar di
telinganya. Saat Pipit membuka matanya, ia terkejut melihat ular besar tengah
memandangnya. Ular itu mendesis, menjulurkan lidahnya. Karena kaget dan takut,
Pipit langsung jatuh ke bawah.
“Arrrggghhh…” Jerit Pipit kesakitan. Ternyata sayap
kiri Pipit patah. Pipit semakin takut dan bingung. Karena ular besar itu turun
dari pohon rindang, dan mendekati Pipit. Pipit duduk diam. Memandangi ular
besar, yang berjalan semakin dekat dengannya. Pipit berpikir, mungkin dia akan
mati dan dimakan oleh ular besar itu. Karena sayap kirinya patah, membuat pipit
tak bisa terbang dan meloloskan diri dari ular besar itu. Pipit memejamkan
matanya dan menunggu dirinya dimakan ular besar itu.
“Pipit lari!”
Pipit mendengar suara Haci. Ia seperti sedang
bermimpi. Kalau Haci akan menolongnya dari ular besar itu.
“Pipit lari!”
Bahkan suara Luna masih ia dengar dalam benaknya.
Pipit tersentak saat bahunya ditarik. Secepat itu,
Pipit membuka matanya. Sekarang dia sudah jauh dari ular besar itu. Pipit
melihat Haci kelelahan karena menarik tubuhnya yang lebih besar dari tubuh
Haci.
“Sekarang kau sudah aman. Teman-teman dan aku akan
melawan ular besar itu. Kau tunggu disini.” Ucap Haci setelah menarik tubuh
Pipit, menjauh dari ular besar itu.
Pipit melihat Haci bergabung dengan teman-temannya
untuk melawan ular besar itu. Luna juga ikut melawan ular besar itu. Pipit
melihat semua teman-temannya yang sering ia hina, sekarang sedang membantunya
dari kejahatan ular besar, yang mau memakannya.
Setengah jam kemudian ular besar itu berhasil
diusir. Dan ular besar itu pergi dari tempat itu. Haci, Luna dan teman-temannya
yang lain mendekati Pipit. Pipit duduk pada sebatang kayu. Pipit memegangi
sayap kirinya yang patah.
“Terima kasih.” Ucap pipit malu-malu pada Haci,
Luna dan teman-temannya.
“Terima kasihlah pada Haci. Karena dia yang melihat
kamu mau dimakan ular besar itu. Saat melihat itu, Haci langsung terbang dan
menemui kami. Ia bilang kalau kamu akan dimakan ular besar. Cepat-cepat kami
pergi kemari dan menolongmu. Dan kami berhasil mengusir ular besar itu.” Ucap
Luna lembut.
“Terima kasih, Haci.” Ucap Pipit.
“Tidak perlu berterima kasih. Bukankah kita semua
teman. Dan teman harus menolong temannya yang sedang kesusahan.” Jawab Haci
yang disambut tepuk tangan teman-temannya.
“Haci, maafkan aku. Aku sudah menuduhmu mencuri
makananku.” Pipit meminta maaf pada Haci. “Dan juga, aku sudah bersikap sombong
pada Luna dan yang lainnya. Aku minta maaf. Dan aku akan berubah.”
“Tidak apa-apa. Aku tidak marah kok. Dan aku senang
kalau kau mau berubah.” Ucap Haci.
“Menjadi Pipit yang baik hati.” Timpal Luna.
“Dan tidak sombong.” Tambah teman-temannya yang
lain.
Haci, Pipit, Luna dan teman-temannya tertawa
gembira. Sekarang Pipit sudah tidak bersikap sombong lagi. Pipit juga sudah mau
berteman dengan yang lainnya. Dan Pipit juga tidak mengusir temannya yang
datang ke rumah. Semuanya berakhir bahagia, dengan tawa yang disambut senja.
“intan?”sambil menggoyang-goyangkanku
“ya?”
“gimana, bagus nggak?”
“mmm, lumayan lah!”
Setelah Nisa menceritakan burung pipit tadi aku
teringat seseorang yang tiba terlintas dalam fikiranku, Imam yah mungkin
sebelas dua belas lah dengan cerita yang tadi.
Bagian 10
18 oktober
2012
Langit berwajah suram pertanda hujan akan turun,aku
bergegas berlari menyelamatkan diriku dari rintik-rintik hujan yang mulai
membasahi tubuhku.
Padahal baru saja ku berangkat menuju sekolahku
yang tidak jauh dari rumahku,di saat dingin mulai menghantui tubuhku ku lihat
seorang anak kecil sedang berdiri melamun menundukkan kepalanya,karna
diriku yang penasaran ku hampiri anak itu dengan perlahan.
“dik,,adik kenapa sendirian saja?”
Ia hanya diam,tiba-tiba muncul hawa tidak enak di
dalam tubuhku,jelas saja hanya kami berdua yang berada di emperan toko
yang sudah lama mati,yang konon dikata orang angker,tiba-tiba tangan kecilnya
menarik bajuku,pertanda ia ingin menunjukan sesuatu,kemudian ku ikuti langkah
kecilnya menuju suatu tempat,tempat yang asing bagiku,aku merasa sebelumnya aku
belum pernah melihat tempat ini,
“ dik,,adik mau kemana? Tempat apa ini? (tanyaku
dengan penuh keheranan)mungkin ini adalah rumahnya ,batinku
Tiba-tiba jari kecilnya menunjukan sebuah rumah tua
yang cukup besar nan kuno,setelah anak ini membuatku penasaran, ku hampiri
rumah itu hingga tiba tepat di depan pintu kayu yang sudah lapuk dimakan usia,
“pemisi apakah ada orang?’’(sambil mengetuk pintu)
“aaaaaaaagggkkkkkkkkkhhhhh!!!!!!!!,,,,”
Betapa kagetnya aku setelah melihat siapa yang
membukakan pintu,seorang ibu yang tidak ada matanya penuh dengan luka dan darah
,aku bergerak mundur berusaha menganggap ini adalah halusinasiku saja,tapi ku
mersa tubuhku menyenggol sesuatu dan kulihat ternyata anak kecil itu juga sama
dengan apa yang tadi aku lihat di dalam rumah itu,tidak cuman satu tapi banyak
orang yang kondisinya mengenaskan meminta tolong kepadaku,mereka perlahan
menghampiriku,mengepungku dan hingga akhirnyaaku tidak sadarkan diri.
“dek,bangun dekk!!
Aku perlahan membuka mataku melihat seorang
pemulung membangunkanku,lalu ia menceritakan semuanya bahwa ia menemukan ku di
dalam toko itu,dan konon katanya sebelum dibangun pertokoan ,ada rumah yang di
bantai oleh perampok dan jasadnya masih di biarkan begitu saja hingga waktu
berlalu, seorang membangun pertokoan tepat di atas rumah itu,hingga penghuni
merasa terganggu akan keberadaan toko itu dan akhirnya ia gulung tikar karnna
sering merasakan penampakan setiap harinya.
Dan setiap orang berdiam diri disitu akan di
tampakan oleh anak kecil yang ingin memberitahu agar jasad mereka semua
di kubur selayaknya.
“Intannnnnnnn!!”(teriak kakak ku dari kejauhan)
Lalu kakak ku bilang aku sudah menghilang dari
rumah sejak 13 hari yang lalu.
Sejak saat itu aku tidak pernah berangkat sekolah
sendirian dan tiap kali aku melihat pertokoan tersebut anak kecil dan
keluarganya melambaikan tangan sambil menunjukan senyum mistis KEPADAKU.
Bagian 11
20 oktober
Dua hari aku tidak masuk sekolah. Entah mengapa
saat aku tadi pulang sekolah tiba tiba Sherly teman sepermainanku selama kelas
10 membicarakan sesuatu di depan mading kelas 10.
“Aku merasa tadi malam ada yang menemaniku tidur.
Padahal.. aku sendiri di rumah. Apakah itu hanya mimpi?” ucap Sherly dengan
perasaan bingung dan ling lung.
“Benarkah? bukannya ada bibimu di rumah?” Tanyaku
sambil membaca mading
“Bibiku sudah pulang tadi malam, Kau lupa? Ouhhh
Intann” Jawab Sherly sambil mondar mandir entah kemana
“Hmmm… Ya sudahlah jangan dipikirkan mungkin itu
perasaanmu saja nanti kamu malah terbayang bayang dengan itu sehingga kamu
tidak fokus dengan pelajaran nanti.” Ucapku dengan nada datar
“Aku merasa aneh, huh baiklah aku ingin pulang dulu
yah hari mulai sore saatnya aku pulang.” Kata Sherly sambil tergesa gesa
“Baiklah sampai berjumpa besok ya sher!” Jawabku
sambil jalan santai
Setelah pulang sekolah aku menghabiskan waktuku
untuk bermain sepeda mengelilingi komplekku dengan teman temanku. Setelah itu,
aku shalat maghrib dan makan lauk pauku yaitu tempe yang sudah aku masak tadi
sore.
“Criiingg…” Suara kaca pecah dari kamar tidurku
“Suara apa itu?” Jawabku dalam hati
Dengan merasa heran aku membuka kamar tidurku
dengan cara perlahan lahan dari tanganku yang sudah ingin mendorong pintu kamar
tidurku. Apa yang terjadi? Ternyata, Sherly memanggilku untuk menemaninya di
rumah.
Aku pun menuju ke rumah Sherly.Karena rumahnya
lumayan jauh, maka itu aku menaiki motor.
*Saat di tengah hutan, motorku mogok lupa mengisi
bensin*
Sherly pun mencari orang untuk membantunya
mendorong untuk sampai di jalan. Aku tahu kalau ini hutan. Dengan itu, aku
mengingatkan Sherly untuk menghentikan pencarian itu. Sejak aku ingin
memberhentikan Sherly, aku melihat bahwa Sherly menemukan wanita berambut
panjang memakai baju merah dan memakai celana hot pants dengan sepatu kiri
saja. Namun, wajahnya tidak terlihat karena ia menghadap ke belakang.
“Permisi mbak, bisakah mbak membantu saya untuk
mendorong motor ini yang sedang mogok?” Tanya Sherly dengan senyuman yang manis
Wanita itu pun menghadap Sherly…
Dan ternyata…
…
“…” Wanita itu dengan mata yang tidak ada dan
wajahnya yang rusak terlihat banyak bagian wajahnya yang bengkak dengan mulut
yang sobek sedang membawa gunting.
Aku dan Sherly pun kabur tanpa menaiki motor dengan
secara berlari dikejar oleh Wanita itu. Kaki ku terkena gunting wanita itu.
Mobil pun lewat dan membantuku untuk menaikinya dengan Sherly. Dan aku bertanya
kepada supir yang membawa mobil itu.
“Pak supir bolehkah aku bertanya ada apa yang
terjadi pada hutan ini?” Tanya ku dengan ketakutan
Pak supir pun tidak bisa menjawabnya. Yang ada
supir itu malah menyetir mobil dengan sangat lambat.
Dengan itu… pak supir menunjukan wajahnya…
Ternyata salah itu adalah mayat laki laki yang
sedang membawa gunting memakai jas yang berdarah darah sangat banyak dengan
mulut yang robek juga.
Aku pun turun di tengah jalan dengan cepat berlari
bersama Sherly dikejar oleh hantu yang aneh itu. Yang ada telapak tanganku
terkena ujung gunting sampai tulangku terlihatan. Dia pun pergi dengan
memutuskan kepalanya. Lalu, kepala itu dibuang di tengah jalan. Kepala itu
terlindas truk yang sangat besar. Kepalanya pun hancur dengan keadaan mulut
mangap berisi larva larva yang banyak.
Untung sudah berada di kota. Aku bertanya kepada
tukang bajigur yang tinggal di sini begitu sangat lama. Ternyata benar apa yang
kuduga. Sejak jaman dahulu hutan itu adalah tempat kejadian tragis yang sudah
membantai warga sini dengan menggunakan barang barang tajam. Sehingga, korban
mayat tersebut tidak dikubur begitu saja. Namun,terlantar di hutan itu. Rohnya
pun memasuki badannya yang terlantar itu (Nightmare).
Dengan itu aku mengajak Sherly untuk tadarus
Al-quran dengan rajin agar tidak ada sesuatu yang buruk.
Bagian 12
25
Desember 2012
Aku berjalan, berjalan melewati pepohonan, pada
saat musim semi. Kulihat pepohonan yang digerakkan oleh angin. Bunyi dedaunan
kering yang terinjak mengiringi setiap langkahku. Aku melihat banyak daun yang
tadinya hijau, berubah menjadi kecoklatan.
Aku melihat mobil berwarna merah, kunaiki mobil
itu. Kemudian, mobil itu bergerak dengan cepatnya, ku lihat dari jendela mobil,
banyak daun coklat berjatuhan, terasa angin menyejukkan dari jendela mobil yang
kubuka.
Sesaat terlihat seseorang yang sudah lama kukenal.
Ternyata dia adalah orang yang telah membuatku sukses seperti sekarang. Orang
itu adalah Papah .mamah telah meninggalkanku sejak aku berumur 4 tahun. dan
sekarang aku berusia 15 tahun. Namaku Intan. Aku bersekolah di salah satu
sekolah ternama di Bogor. Kemudian aku turun dari mobil merah. Dan berjalan ke
sebuah rumah. Rumah dengan atap berbentuk segitiga. Pagarnya berwarna hitam,
dan terdapat air mancur di halamannya. Rumah bertingkat dua dengan tembok
berwarna putih. Membuatku rindu, serasa tidak mau pergi dari rumah ini.
Kuhempaskan tubuhku ke kasur. Lalu kupejamkan
mataku. Sesaat terlintas sebuah kejadian yang sudah lama kulupakan. Kejadian
ini terjadi ketika aku mengikuti sebuah lomba matematika. Pada saat itu aku
bertemu dengan seseorang yang belum kukenal. Dia mengajakku ke sebuah tempat
makan. Disana kami melihat sesuatu yang ganjil.
Ada seseorang yang berteriak, “Awas ada anjing gila”,
kami yang sedang makan disana merasa heran. Ternyata benar, seekor anjing gila
datang memporak-porandakan tempat makan itu. Semua orang di tempat itu merasa
ketakutan kecuali seseorang yang bersamaku.
Dia tidak terlihat ketakutan, bahkan dia sempat melempar
kursi untuk mencegah anjing itu menyerang orang lain. Kemudian datang petugas
kepolisian yang menembak anjing tersebut. Kami berdua bersyukur, karena anjing
itu tidak menyerang kami, ternyata anjing itu terkena rabies. Setelah kejadian
itu, kami berdua pergi ke sebuah tempat latihan sepakbola.
Kami melihat pertandingan sepak bola. Kami bersama
orang-orang yang menonton sepakbola, memberi semangat kepada pemain yang
bermain di lapangan. Lalu kami berdua pergi ke sebuah tempat yang menampilkan
sebuah pemandangan yang indah. Pemandangan yang menyegarkan mata. Matahari
berwarna kuning kemerah-merahan. Hampir menghilang entah kemana.
Kemudian kami berjalan melewati jembatan. Lalu
melewati jalan raya. Tiba-tiba ada truk yang menghantam seseorang di sebelahku.
Sebenarnya, jika ia tidak mendorongku, mungkin aku yang sudah tertabrak truk
itu. Kulihat darah mengalir dari kepalanya. Lalu dia berkata, “Tidak apa-apa,
aku baik-baik saja, lebih baik kamu menjadi orang yang bermanfaat untuk orang
lain.”
Aku yang melihat kejadian itu, hanya bisa menangis,
tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Kakiku lemas, mulutku kaku, dan lidahku
tidak bisa digerakkan. Lalu banyak orang yang mengerubungi kami. Kemudian
datang ambulan yang membawa kami. Ketika kami berada di ambulan, dia menghembuskan
nafas terakhirnya. Aku merasa menyesal. Kenapa orang yang baru kukenal. Orang
yang menyelamatkanku, harus pergi begitu cepat, kenapa?
Bagian 13
27
Desember 2012
Semua mata tertuju padanya, karena ekspresinya
berbeda dari yang lain. Saat semuanya sangat gembira dia hanya terdiam tak
percaya, merasakan hal ini sama saja dengan bunuh diri menurutnya. Dia harus
melakukan sesuatu. Sesuatu agar dia tak melihatnya. Ia memang gadis bodoh. Tak
seharusnya dia berada di tempat ini.
Ia masih berdiri terdiam dan membatu. Dengan
ekspresi datar, ia memegang gelas kaca kecil yang berisikan sirup melon
kesukaannya tapi kenapa sekarang ia merasa tak ada nafsu untuk menikmatinya.
Tangannya menggenggam gelas itu kencang hingga tak sadar ia mendengar suara retakan
kaca. Ia memandang ke depan, kosong.
Suara retakan kaca mulai terdengar jelas. Lalu
gelas yang di tangannya pecah berkeping-keping membuatnya menjadi perhatian
seluruh orang di tempat itu, ia jadi bahan perhatian.
Gadis itu menundukan kepalanya poninya yang panjang
menutupi kedua matanya yang indah. Hal itu bagus menurutnya agar tak ada
seorang pun yang tau kalau dia sedang menangis, matanya menangkap bercak-bercak
berwarna merah di gaun putih miliknya, tangannya berdarah. Tapi ia tak
merasakannya. karena hatinya yang lebih merasa sakit.
Sekarang semua orang menjauhinya, menatapnya ngeri.
Sekarang ia jadi pusat perhatian. Sekarang ia mencoba memberanikan diri.
Melangkah dengan perlahan dan hati-hati, takut terluka lagi. Ia menghapus
airmatanya. Meski terus tak ingin berhenti menangis, melupakan semua rasa sedih
di hati.
Langkah pertama terasa berat olehnya, bagaikan ada
puluhan ton batu yang menjerat kakinya. Ia melihat ke depan menampilkan matanya
yang indah, semua orang terkesima termasuk seseorang yang sedang di tatapnya.
Hatinya sakit, ia tak kuat, ia harus pergi dari tempat itu. Dadanya sesak,
nafasnya terengah-engah, sakit..!.
Ia membalikan badannya mencoba untuk pergi namun
seseorang menggapai tanggannya yang berdarah.
“ada apa denganmu..?” ucap seorang laki-laki yang
menjadi alasannya untuk menangis, pergi, dan… Sakit. Ia hanya berdiri termenung
membelakangi laki-laki bernama Atta itu. Membiarkan laki-laki itu memegang
tangannya beberapa saat.
“tak ada..” jawab gadis itu ringan.
“pasti ada, jawablah sekarang Intan, apa yang
terjadi padamu, lihatlah tangan mu berdarah”
“kau tidak mengerti..” gadis bernama Intan ini
melepaskan genggaman Atta “lebih sakit disini” ucap Intan menyentuh dadanya.
Suara isakannya terdengar nyaring. “maaf, aku harus pergi” ucap Intan langsung
pergi.
Atta hanya berdiri, memandangi punggung gadis itu
yang perlahan semakin menjauh, tiba-tiba hatinya terasa sakit.
“apakah kamu baik-baik saja?” ucap seorang wanita
berbaju pengantin di sebelahnya sambil melihat bercak darah di tangan Atta.
“tidak, aku baik-baik saja” ucap Atta.
“baguslah, ayo kembali, masih banyak tamu yang menunggu,”
ucap wanita berbaju pengantin ini menggandeng Atta pergi dari tempat itu, tapi
matanya masih lekat pada punggung gadis yang sudah menjadi sahabatnya sejak
kecil.
Harusnya ia sadar, Intan menyayanginya lebih dari
sahabat. Tapi sepertinya dia terlambat. Kevin terambat, mungkin gadis itu
membencinya, selamanya.
BAGIAN 14
30
desember 2012-01 januari 2013
Setelah kepergian Atta, Hidupku ini sangat rumit.
Mengapa? Kedua orangtuaku berpisah dengan alasan tak jelas. di tambah lagi
dengan kejadian Mistis yang ku alami akhir-akhir ini, lengkap sudah
penderitaanku terpaksa Aku harus tinggal bersama papa, yang akhir-akhir
ini jarang memperhatikanku akibat pekerjaannya. Juga bersama Bik Wati, pembantu
rumahku. Dan aku mengidap penyakit kanker darah atau leukemia. Saat Papa dan
Mama masih bersama, mereka membawaku ke dokter untuk operasi. Papa dan Mama
rela menghabiskan uangnya untuk menyembuhkan penyakitku. Tapi, kanker ini sudah
stadium 4, artinya sudah parah. Mereka akhirnya pasrah, dan kemudian berpisah.
Aku sedih. Kadang aku berfikir untuk tidak mau
hidup di dunia ini. Tapi, aku selalu ingat pesan Oma agar tetap tabah
menghadapi cobaan di dunia ini.
Senin pagi, upacara bendera dilaksanakan. Sebelum
upacara, Diah melarangku mengikuti upacara sebab aku sering tidak enak badan
bahkan pingsan saat mengikuti upacara. Tapi, aku bersikeras untuk ikut. Aku tak
suka meninggalkan kegiatan yang berhubungan dengan negara, seperti upacara.
Diah pasrah saja dan menuruti kemauanku.
Suasana upacara kali ini cukup panas, karena
matahari bersinar dengan terik. Saat kepala sekolah menyampaikan amanat,
kepalaku mulai pusing. Tapi, aku tetap mendengarkan amanat kepala sekolah, dan
menyembunyikan rasa pusing itu. Tapi kepalaku makin sakit. Mukaku mulai pucat.
Tangan kakiku dingin.
“, kamu tidak apa-apa? Mukamu pucat.” kata Diah.
“Aku tidak apa-apa Diah” kataku berbohong.
Kemudian, perasaanku tidak enak. Pandanganku kabur. Semuanya gelap.
Saat kubuka mataku, aku sudah ada di atas ranjang
UKS Untuk kesekian kalinnya “Alhamdulillah,
Intan kamu sudah sadar” kata Diah sambil tersenyum.
“Sudah kukatakan kan Tan , kamu tidak usah ikut
upacara. Tapi kamu tetap ikut. Begini kan hasilnya?” kata Diah dengan nada
sedikit kesal.
“Diah!
Jangan begitu dengan Intan ! Dia baru saja pingsan!” tegur Rina.
Aku terdiam. Aku menatap langit-langit UKS.
Kemudian, aku menitikkan air mataku.
“Eh Intan , kenapa nangis? Tuh Diah, Intan kan jadi nangis!” tanya Rina sambil mengambil
tisu.
“Hah? Aku
kasar ya Tan? Maaf ya?” kata Diah.
“Ini bukan
salahmu kok Di. Salahku sendiri tidak mau mendengarmu” jawabku sambil mengelap
air mata di pipiku.
“Ya sudah, Intan sekarang kamu tidur saja ya. Aku
dan Diah akan menemani kamu disini.” kata Rina lembut.
“Tapi nanti kalian ketinggalan pelajaran?” tanyaku
padanya.
“Tidak apa. Nanti kami bisa melihat catatan teman
yang lain.. Mending, kamu tidur aja ya Tan” kata Diah.
“Baiklah kalau begitu” jawabku, lalu kemudian tertidur.
Dalam tidurku, aku bermimpi. Bermimpi bertemu
dengan omaku. Di mimpiku, aku memeluk oma dengan rasa sayang. Omaku memanggilku
untuk tinggal bersamanya. Aku tersenyum sambil mengangguk.
Tiba-tiba aku terbangun. Di sekitarku sudah ada
kelima sahabatku yaitu Diah, Sari, Wiwi, Dewi dan Rina. Sudah jam istirahat
rupanya, jadi mereka menjengukku.
“Hai Intan, sudah bangun rupanya. Bagaimana
keadaanmu sekarang? Sudah membaik?” tanya Wiwi.
“Ya Alhamdulillah sudah membaik kok” jawabku
tersenyum. Aku bangun untuk duduk.
“Teman-teman, tadi aku bermimpi. Aku bertemu dengan
omaku. Dan omaku memanggilku untuk bersamanya, aku mengangguk. Apakah itu
sebuah pertanda?” tanyaku pada sahabatku. Mereka saling memandang. Kemudian,
Dewi berkata
“Mungkin kamu rindu dengan omamu Yu. Dan terbawa ke
dalam mimpi”.
“Oh, begitu”
jawabku.
KRIIINNGG!!! Bel masuk berbunyi. Aku dan kelima
sahabatku menuju kelas. Aku tak ingin ketinggalan banyak pelajaran. Di kelas,
teman-temanku yang lain banyak bertanya tentang keadaanku. Aku menjawab, aku
telah baikan. Tak lama kemudian, Bu Risma, guru Matematika datang dan memulai
pelajaran.
Tepat pukul 12.30, bel pulang berbunyi. Semua murid
SMA Regina Pacis berhamburan keluar kelas untuk pulang ke rumah masing-masing.
Begitu pula aku. Di depan kelas, aku menunggu sahabatku. Tak lama, mereka pun
datang.
“Yuk pulang!” ajak Dewi.
“Aku bareng
siapa pulangnya?” tanyaku.
“Aku juga?” tanya Sari.
“Begini
saja, kan aku, Rina dan Wiwi bawa motor. Aku bareng sama Intan , Rina sama Sari
dan Wiwi sama Diah. Gimana?” jelas Dewi.
“Setuju!!!” kataku serempak dengan
sahabat-sahabatku.
“Oke, let’s go home!” seru Dewi.
Kami berenam pun pulang naik motor dibonceng oleh
pasangan berbonceng masing-masing. Di perjalanan, aku sedikit takut karena
takut ditilang polisi. Tapi untung saja saat tiba di rumahku, tidak terjadi
apa-apa.
Di rumah, Bik Wati menyambutku. Aku menceritakan
tentang tadi di sekolah. Juga tentang mimpiku. Saat mempertanyakan pertanda
dari mimpiku, Bik Wati menjawab sama dengan jawaban Dewi. Tapi, aku masih tak
yakin dengan jawaban itu.
Saat masuk ke kamar, aku langsung mengganti baju.
Kemudian, seperti biasanya, aku menulis di buku harian alias diaryku.
Senin, 27 Februari 2012
Dear Diary
Hari ini, aku kembali pingsan. Pasti karena
penyakitku ini. Kenapa sih aku harus diberi penyakit? Aku tidak suka melihat
orangtuaku yang dulu telah berusaha keras mencari cara agar penyakitku bisa
sembuh, tapi hasilnya tetap sia-sia. Dan aku tau, pasti alasan mereka berpisah
karena capek mengurusiku. Ya kan?
Apalagi Mama sekarang jarang memperhatikanku. Sehari saja, aku hanya bertemu 2 jam. Sungguh tak enak. Aku ingin Mama ada di sampingku menemaniku dan mendengarkan semua curhatku.
Aku berfirasat kalau umurku sudah tak lama lagi. Baguslah kalau begitu, aku tidak akan sedih lagi menghadapi hidup ini. Tapi bagaimana dengan sahabatku? Bagaimana dengan Atta Duh, aku bingung sekali!
Apalagi Mama sekarang jarang memperhatikanku. Sehari saja, aku hanya bertemu 2 jam. Sungguh tak enak. Aku ingin Mama ada di sampingku menemaniku dan mendengarkan semua curhatku.
Aku berfirasat kalau umurku sudah tak lama lagi. Baguslah kalau begitu, aku tidak akan sedih lagi menghadapi hidup ini. Tapi bagaimana dengan sahabatku? Bagaimana dengan Atta Duh, aku bingung sekali!
Diary, kalau misalkan besok aku sudah tiada,
bisikkan pada Tuhan ya agar Mama dan Atta bisa membaca curhatan hatiku. Dan
bisikkan pada Tuhan agar Papa dan Mama bertemu.
Intan Fitriani
Malam harinya, kubuka buku diaryku. Aku membaca
semua curhatan hatiku. Bila membaca hal-hal yang membuatku sedih, aku menangis.
Rasanya, ini adalah terakhir kalinya aku membuka dan membaca diaryku ini.
Apakah benar, aku akan pergi meninggalkan dunia ini? Aku tak tau. Aku segera
terlelap dengan buku diary yang ada di tanganku.
Keesokan harinya, pukul setengah enam pagi, aku
bangun dengan air mata di pipiku. Aneh sekali. Segera kuhapus dengan tisu yang
ada di meja dekat ranjang. kemudian segera ambil air wudhu untuk shalat Subuh.
Setelah itu, aku menunaikan shalat subuh. Setelah selesai shalat, aku turun
untuk menemui Bik Wati.
“Pagi Bik!” sapaku lemas pada Bik Wati.
“Pagi juga
Non Intan !” balas Bik Wati. Tiba-tiba, kurasakan sesuatu mengalir dari
hidungku. Kusentuh hidungku. Darah! Aku mimisan lagi. Tak lama, kurasakan hal
yang aneh, seperti ingin pingsan.
“Non Intan ! Mimisan lagi. Mukanya Non juga pucat.
Non Intan nggak apa-apa?” tanyanya sambil mengambil tisu. Aku tak menjawab
karena semua , kemudian gelap.
Aku membuka mata. Di sekeliling, ada seorang
dokter, dua suster, Papa, Mama, Bik Wati serta lima sahabatku. Di hidungku ada
selang oksigen, dan di punggung tanganku ada jarum berbalut perban dengan
selang yang menyambungkan cairan dari sebuah benda. Mereka menyembunyikan wajah
sedih mereka. Aku tersenyum pucat. Dokter dan kedua suster lega, dan kemudian
meninggalkan ruangan.
“Semuanya, aku minta maaf kalau buat susah kalian.
Aku memang gak berguna. Kerjanya cuma bikin orang susah!”
kataku sambil menitikkan air mata.
“Ssst! Kamu tidak boleh berkata begitu sayang!”
kata Mama dengan mata berkaca-kaca.
“Pa, Ma, aku pengen Papa dan Mama itu bersatu
kembali. Aku nggak suka kalau Papa dan Mama pisah” kataku.
“Kalau Intan mau Papa sama Mama bersatu lagi, Papa
mau saja” jawab Papa.
“Ya, Mama juga mau” jawab Mama. Aku kembali
tersenyum.
“Diah, Sari, Dewi, Wiwi dan Rina. Maaf kalau aku
selalu bikin kalian ketinggalan pelajaran, cuma gara-gara ngurusin aku kalau
aku pingsan di sekolah” kataku pada sahabatku.
“Ah, enggak
kok Tan. Kita nggak papa kok ketinggalan pelajaran. Kan bisa belajar dari
teman-teman yang lain” jawab Rina.
“Iya. Gak papa kok!” kata Wiwi sambil tersenyum.
“Semuanya, aku rasa, sekarang waktunya aku pergi
nyusul Oma di surga sana.” Kataku
. Intan sayang, kamu ngomong apa sih? Jangan
ngomong macam-macam sayang!” kata Papa sambil menitikkan air mata.
“Enggak Pa! Aku sudah ditunggu Oma. Dan Tuhan,
terima kasih sudah sempat memberiku hidup. Mempertemukanku dengan Papa, Mama
dan sahabatku yang baik, kak Atta, Rina Ilham yang masih peduli ke aku.
Semuanya, jaga diri baik-baik ya!
Daah!” kataku.
Aku kemudian menutup mata dan menghembuskan nafas
terakhir. Roh ku kemudian meninggalkan tubuhku yang kini tidak bergerak lagi.
Semua di ruangan itu menangis atas kepergianku. Papa dan Mama memeluk tubuhku
yang kini sudah kosong. Aku sedih melihat mereka tapi aku sudah dipanggil
Tuhan. Aku pun pergi menuju surga menemui Tuhan. Selamat tinggal semuanya.
Kutunggu kalian di surga.
Tobe continue :)
BalasHapus